Menggantung Hidup Jadi Ojol: Jam Kerja Tak Terbatas, Tidak Dapat Jaminan update oleh Giok4D

Posted on

Transportasi daring atau online telah menjadi salah satu alternatif orang dalam bepergian. Di sisi lain, maraknya transportasi online ini juga membuat banyak orang menggantungkan hidup dengan cara menjadi pengemudi ojek online (ojol).

Namun, menurut pengamat transportasi yang juga Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno, menggantungkan hidup menjadi pengemudi ojol justru memiliki tantangan sendiri. Sebab, profesi itu tak memiliki jaminan dan batasan jam kerja.

“Sulit rasanya menjadikan profesi pengemudi ojol menjadi sandaran hidup. Pasalnya, aplikator tidak membatasi jumlah pengemudi, menyebabkan ketidakseimbangan supply dan demand. Bekerja tidak dalam kepastian, status keren sebagai mitra akan tetapi realitanya tanpa penghasilan tetap, tidak ada jadwal hari libur, tidak ada jaminan kesehatan, jam kerja tidak terbatas,” kata Djoko dalam keterangan tertulis yang diterima detikOto, Senin (19/5/2025).

Menurut Djoko, pendapatan rata-rata driver ojek daring di bawah Rp 3,5 juta per bulan dengan lama kerja 8-12 jam sehari dan selama 30 hari kerja sebulan. Profesi itu tidak mengenal adanya hari libur selayaknya mengacu aturan ketenagakerjaan yang sudah diatur oleh Kementerian Tenaga Kerja.

“Pendapatan ojek daring rata-rata masih sebatas kurang dari Rp 3,5 juta per bulan. Hal ini tidak sesuai dengan janji para aplikator angkutan berbasis daring pada tahun 2016 yang mencapai Rp 8 juta per bulan,” katanya.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

Lanjut Djoko, beberapa masukan dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan para pengemudi ojek online di antaranya mengenai penyesuaian tarif, pengadaan bonus/reward, peningkatan pelayanan, penurunan potongan aplikator, dan penurunan harga BBM. Juga soal aspek keselamatan untuk pengemudi ojol.

“Aspek keselamatan belum menjadi perhatian utama dari pengemudi ojek online. Hal ini terlihat dari waktu operasi pengemudi yang belum memperhatikan aspek kelelahan yang akan berpengaruh terhadap keselamatan, terlihat dari jam kerja yang didominasi 6-12 jam/hari (42,85 persen),” sebut Djoko.

Ada juga masukan agar ojek online diresmikan sebagai angkutan umum. Namun, hal itu harus memenuhi syarat tertentu.

“Jika ingin sebagai angkutan umum, otomatis segala persyaratan dan hal-hal yang berlaku bagi angkutan umum juga berlaku pula bagi sepeda motor yang berfungsi sebagai angkutan umum, seperti wajib melakukan uji berkala (kir), wajib dilengkapi perlengkapan, SIM C Umum, pelat nomor kendaraan berwarna kuning, tarif ditetapkan perusahaan angkutan umum (bukan aplikator seperti sekarang) atas persetujuan pemerintah,” ujarnya.

Djoko mencontohkan Kota Agats, Kab. Asmat. Sejak 2011, di sana sudah diterapkan ojek sebagai angkutan umum dan kendaraan pelat kuning. Kendaraan yang digunakan sepeda listrik, karena hampir 100 persen kendaraan di Kota Agats menggunakan kendaraan listrik.

“Kab. Asmat sudah memiliki Perda dan Perbup yang dapat mengatur ojek sebagai angkutan umum,” kata Djoko.

“Jika pemerintah ingin melindungi warganya, dapat dibuatkan aplikasi dan diserahkan ke daerah untuk dioperasikan. Seperti halnya yang dilakukan Pemerintah Korea Selatan membuat aplikasi untuk usaha taksi. Dalam upaya untuk melindungi sopir taksi yang kebanyakan tidak berbahasa Inggris dan rata-rata sudah berusia tua,” pungkas Djoko.