Taksi Terbang di Depan Mata, Apa Tantangannya di Indonesia?

Posted on

Teknologi taksi terbang seperti EHang 216 S kini makin dekat dengan kenyataan untuk menjadi solusi dalam menghadapi kemacetan.

Bahkan, kendaraan udara listrik tanpa pilot ini sudah membawa manusia terbang untuk pertama kalinya di Indonesia. Tapi untuk jadi moda transportasi komersial, masih banyak tantangan yang harus diselesaikan.

Pertama adalah soal regulasi. Sampai saat ini, belum ada regulasi yang jelas dari otoritas penerbangan seperti Direktorat Jenderal Perhubungan Udara untuk pengoperasian kendaraan udara listrik tanpa pilot (eVTOL). Teknologi ini berkembang lebih cepat daripada regulasi.

“Biasanya teknologi lebih cepat daripada regulasi. Contohnya kalau kita tahu dulu pengendara taksi online ditangkap polisi. Taksi tanpa ada izin armada umum. Artinya apa? Artinya teknologinya lebih cepat,” kata Rudy Salim, Executive Chairman dari Prestige Aviation di Phantom Ground Park PIK 2, Kab. Tangerang, Banten, Rabu (25/6/2025).

“Regulasinya ketinggalan. Nah, begitu juga di Indonesia. Teknologinya udah ada, tapi regulasinya masih digodok. Jadi menunggu regulasinya. Regulasinya lagi diolah supaya bisa mengikuti teknologi yang semakin cepat berkembang,” kata Rudy.

Menurut Rudy, EHang 216 S memang sudah mendapat izin terbang uji coba, termasuk dengan penumpang. Tapi statusnya belum bisa digunakan secara komersial.

“Baru hari ini boleh pertama kaliny dibawa manusia. Tadi benar-benar adalah orang-orang pertama yang terbang menggunakan EHang 216-S. karena regulasinya baru keluar, mengikuti regulasi yang ada di China,” kata Rudy.

“Semoga dalam waktu setahunan ini kita udah komersil. Paling nggak sedikit langkah maju dari sebelumnya,” jelas dia.

Selain regulasi, infrastruktur juga masih jadi kendala. Indonesia belum memiliki sistem ekosistem seperti landing pad, charging station, hingga area penggantian baterai.

Saat ini Prestige Aviation berencana untuk membuat ekosistem EHang 216 S terlebih dahulu.

“Nanti ke depannya mungkin kita akan taruh beberapa landing area, landing pad, lalu nge-charge landing page atau switch baterai, dan sebagainya, masih kita pikirkan untuk ekosistem ke depannya,” kata Rudy.

Otoritas penerbangan seperti Direktorat Jenderal Perhubungan Udara perlu menyusun aturan mengenai sertifikasi, jalur udara, zona lepas landas dan pendaratan, hingga standar keselamatan. Tanpa regulasi yang jelas, izin operasional akan sulit diperoleh.

Sokhib Al Rokhman, Direktur Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) menyebut pihaknya akan melakukan evaluasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

“Undang-undang ini sudah 15 tahun, jadi memang perlu dievaluasi,” kata Sokhib di Phantom Ground Park PIK 2, Kab. Tangerang, Banten, Rabu (256/2025).

EH 216 S sudah memiliki Sertifikat Tipe (Type Certificate) untuk Sistem UAV Pengangkut Penumpang EH216-S yang dikeluarkan oleh Civil Aviation Administration of China (CAAC) atau Administrasi Penerbangan Sipil Tiongkok. Sertifikat ini menunjukkan desain model EH216S sepenuhnya mematuhi standar keselamatan dan persyaratan kelaikudaraan Administrasi Penerbangan Sipil Tiongkok.

Di Indonesia, EH216 S saat ini membutuhkan proses validasi sertifikasi tipe di Directorate General of Civil (DGCA) / Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.