Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup menyiapkan Kajian Nilai Koefisien Pencemaran Lingkungan (KPL) sebagai dasar penerapan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) berbasis emisi. Siap-siap, kendaraan yang tidak lulus uji emisi harus bayar pajak lebih mahal.
Kebijakan ini dirancang untuk memberikan disinsentif bagi kendaraan yang tidak lulus uji emisi. Langkah ini juga untuk memperkuat upaya pengendalian pencemaran udara di Jakarta.
Dikutip dari situs resmi Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Bidang Pembangunan dan Tata Kota, Nirwono Joga, menjelaskan bahwa kajian ini menjadi bagian dari strategi besar Pemprov DKI dalam menekan emisi karbon. Proses penyusunannya melibatkan peneliti, akademisi, lintas OPD, industri, asosiasi, dan NGO agar metodologi yang digunakan solid dan hasil analisisnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Saat ini, pemerintah daerah juga sedang menyiapkan Raperda Manajemen Lalu Lintas yang mencakup penguatan Low Emission Zone, penerapan parkir elektronik progresif, serta rencana penerapan Electronic Road Pricing.
Menurut Nirwono, pengendalian emisi kendaraan tidak bisa dilakukan Jakarta secara mandiri karena arus kendaraan dari wilayah penyangga sangat besar. Karena itu, isu ini membutuhkan pendekatan lintas wilayah. Ia juga mengingatkan, selain perhitungan teknis mengenai emisi, aspek politis perlu dipertimbangkan. Kajian KPL bukan hanya ditujukan untuk meningkatkan jumlah kendaraan yang mengikuti uji emisi, tetapi juga mendorong masyarakat beralih ke transportasi publik.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto, menambahkan bahwa kajian KPL merupakan amanat dari regulasi nasional, yakni PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terkait pemenuhan baku mutu emisi kendaraan dan Permendagri Nomor 8 Tahun 2024 yang mengatur pajak kendaraan berbasis emisi.
Asep menyebut, lebih dari 40 persen polusi udara Jakarta berasal dari kendaraan bermotor. Berdasarkan hal itu, diperlukan langkah untuk menginternalisasi biaya eksternalitas lingkungan ke dalam instrumen fiskal seperti pajak kendaraan bermotor. Dengan adanya kebijakan ini, pemilik kendaraan diharapkan lebih disiplin dalam merawat kendaraan dan melakukan uji emisi agar tidak terkena disinsentif berupa koefisien tambahan pada PKB.
Peneliti BRIN, Rizqon Fajar menjelaskan, sektor transportasi menyumbang sekitar 44 persen emisi polutan di Jakarta. Sebagian besar kendaraan yang beroperasi juga belum memenuhi standar emisi terbaru. Lebih dari separuh sepeda motor, sekitar 70 persen mobil pribadi, serta mayoritas truk dan bus diesel masih berada di bawah standar Euro 4, bahkan banyak yang masih menggunakan standar Euro 0 hingga Euro II. Kondisi ini menunjukkan perlunya pengetatan regulasi berbasis emisi.
Rizqon merekomendasikan agar Pemprov DKI menetapkan Peraturan Gubernur khusus tentang Koefisien Pencemaran Lingkungan yang mengatur koefisien emisi, bobot emisi, dan usia kendaraan sebagai bagian dari formula penghitungan pajak kendaraan bermotor berbasis emisi. Untuk memastikan implementasinya berjalan efektif, ia mendorong integrasi sistem antara DLH, Samsat, dan ETLE sehingga hasil uji emisi dapat langsung mempengaruhi besaran PKB yang harus dibayar pemilik kendaraan.
