Remuk! Penumpang Bus AKAP Turun Hingga 23%, Operator Butuh Bantuan Pemerintah

Posted on

Daya beli masyarakat Indonesia sedang menurun tajam. Hal ini juga terjadi di industri transportasi umum darat, di mana penumpang bus AKAP (Antar Kota Antar Provinsi) mengalami penurunan hingga 23%. Operator bus pun sangat membutuhkan bantuan pemerintah.

Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi 0,37% pada Mei 2025 secara bulanan (month to month/mtm), dan ini menjadi kali ketiga deflasi selama 2025. Hal ini pun menjadi alarm bagi pertumbuhan ekonomi nasional, karena deflasi membuat daya beli masyarakat turun atau mereka menahan uang untuk berbelanja barang maupun jasa.

Turunnya daya beli masyarakat juga terjadi di industri transportasi umum darat, khususnya bus umum trayek AKAP. Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) Kurnia Lesani Adnan mengatakan, industri bus AKAP di Indonesia saat ini sedang remuk-remuknya.

“Remukk…! Bulan April-Mei 2025 ini dibandingkan bulan yang sama di tahun 2024 turun 23% secara jumlah penumpang. Sebenarnya dari jumlah penumpang saat lebaran tahun 2025 sendiri turunnya sudah sekitar 35% dari lebaran 2024. Dan pascalebaran sampai saat ini terus relatif turun,” buka pria yang akrab disapa Sani kepada detikOto.

Sani sendiri tidak bisa memastikan, faktor-faktor apa saja yang membuat turunnya penjualan tiket bus AKAP. Yang jelas, ada kaitannya dengan kelesuan ekonomi nasional.

“Ini yang kita tidak bisa nge-judge (faktornya apa saja), karena jika melihat dari sebelum-sebelumnya pascapilpres, ada penyesuaian ekonomi, tapi nggak securam tahun ini,” sambung Sani.

Sani pun mengaku pasrah dengan situasi yang terjadi saat ini. Dia mengkritik kebijakan pemerintah yang memberikan stimulus berupa diskon tarif untuk moda transportasi kereta api, pesawat, dan kapal laut selama Juni-Juli 2025, tanpa mengikutsertakan transportasi bus AKAP di dalamnya.

Memang pemerintah memberikan stimulus lain berupa diskon untuk tarif tol. Tapi, kata Sani, hal itu tidak akan banyak membantu industri bus AKAP. Karena dengan kebijakan tersebut, justru malah membuat orang memilih menggunakan mobil pribadi ketimbang naik bus.

“Terus terang kami tidak bisa berbuat banyak, sampai hari ini kami sudah dan sedang melakukan peremajaan unit, yang mana itu investasi, sementara pemerintah tidak ada perhatian terhadap kami, malahan perhatian pemerintah ke moda lain seperti memberikan subsidi ke kereta api, kapal laut, bahkan ke maskapai. Diskon tarif tol sendiri pun hanya membuat orang lebih cenderung bepergian menggunakan kendaraan pribadi,” bilang Sani lagi.

“Di sisi lain, sampai hari ini kami masih dihadapkan oleh sulitnya BBM, di mana kebijakan barcode di lapangan menjadi pungli oleh operator SPBU dan juga pajak kendaraan bermotor angkutan umum naik dari 30% menjadi 60% artinya naik 100%. Sangat terlihat kalau pemerintah tidak menganggap kami ini ada dan diperlukan, tidak ada upaya apa pun untuk angkutan umum berbasiskan jalan raya dari pemerintah,” tukas Sani.