Profesi sopir truk di Indonesia semakin ditinggalkan. Bahkan disebutkan, jumlah sopir truk di Indonesia sudah masuk kategori berbahaya.
Menurut KNKT, jumlah pengemudi bus dan truk di Indonesia mengalami penurunan. Rasio dengan jumlah kendaraan yang beroperasi sudah masuk dalam zona berbahaya (danger).
Menurut Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), di balik kemudi, sopir truk menjadi tumpuan sekaligus tumbal sistem yang secara beringas mengeksploitasinya.
“Di jalur Tol Cipali, di tengah panas terik, mereka harus memaksakan tubuh lelah melanjutkan perjalanan, karena tak ada tempat istirahat yang layak. Padahal jika terjadi kecelakaan, merekalah yang pertama dicurigai, disalahkan, bahkan sering ditersangkakan di depan hukum. Sementara pemilik barang tak pernah hadir saat pemeriksaan dan melenggang bebas dari jeratan hukum,” sebut MTI dalam keterangan tertulis yang diterima detikOto, Kamis (5/6/2025).
Bahkan, MTI mengutip pernyataan seorang sopir truk yang bilang bahwa, “Mengemudi kendaraan di Indonesia itu artinya siap jadi tersangka.”
Di Indonesia, jadi sopir truk tidak ada standar jam kerja. Perlindungan hukum pun tak ada. Juga belum ada skema pengupahan yang menjanjikan penghidupan layak.
“Pungli di banyak titik bisa menggerus hingga 35 persen ongkos angkut, sebagaimana dicatat Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Tak heran, profesi sopir truk kini ditinggalkan banyak orang. Krisis pengemudi di tengah lonjakan kebutuhan distribusi jadi ironi yang tak pernah dibahas serius dalam rapat-rapat para pejabat yang bertanggung jawab,” ucap MTI.
Problem truk kelebihan dimensi dan muatan bukan semata urusan pelanggaran teknis atau siasat mencari profit. Masalah ini adalah cermin kekacauan tata kelola logistik nasional. Karoseri masih bebas memproduksi truk berdimensi tak wajar. Pemilik barang dengan enteng memaksa sopir memuat lebih demi efisiensi biaya tanpa peduli akan aturan hukum. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, belum juga membuat regulasi yang memaksa produsen dan pemilik barang bertanggung jawab.
“Pasal 184 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 memberi keleluasaan pada cara penetapan tarif angkutan barang melalui kesepakatan antara pengguna dan operator. Akan tetapi dalam praktiknya, liberalisasi tarif justru membiakkan eksploitasi. Regulasi keselamatan dan batas teknis kendaraan tak ditegakkan. Truk kelebihan dimensi dan muatan menjamur. Prasarana jalan dan pelabuhan rusak. Negara merugi.