Praktik truk over dimension over load (ODOL) masih ada. Jembatan timbang yang sudah ada saat ini tidak dimanfaatkan dengan maksimal.
Dalam keterangan tertulisnya, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menyebut jembatan timbang alias Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB), nyaris tak punya gigi. Malah disebutkan, jembatan timbang itu seakan menjadi pajangan belaka.
“Banyak yang kelebihan kapasitas, fasilitasnya terbatas, dan rawan pungli. Belum lagi masalah kompetensi dan reward bagi para pengelolanya. Teknologi pengganti, seperti Weight-in-Motion (WIM) belum juga diadopsi secara luas,” sebut MTI dalam siaran persnya.
Di sisi lain, MTI menilai pengujian kendaraan bermotor (KIR) tak punya sistem seragam. Pemerintah daerah menjadikannya sumber Pendapatan Asli Daerah.
“Akibatnya, praktik pungli makin subur. Bahkan, sekitar 80 persen truk tidak menjalani uji KIR secara benar, tapi tetap lolos beroperasi,” katanya.
Sejumlah inisiatif sebenarnya mulai dirintis, seperti terminal barang akan dibangun di jalan nasional, subsidi untuk angkutan berbasis rel mulai dibicarakan, dan BPSDM Kementerian Perhubungan tengah menyiapkan sekolah khusus sopir truk, agar profesi ini menjadi terhormat seperti pilot pesawat, nakhoda kapal, dan masinis kereta.
“Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) mendukung langkah ini. Namun menegaskan bahwa solusi tambal sulam tak akan cukup. Hanya penertiban juga tidak akan cukup. Dibutuhkan perubahan terstruktur, dari sistem logistik yang berjalan tanpa kompas kebijakan terpadu, menjadi sistem yang solid, terukur, dan berpihak pada manusia di balik setir,” sebut MTI.
Jauh sebelum truk bermuatan lebih menelan korban jiwa, MTI sudah lama menyuarakan peringatan. Pemerintah juga sempat mencanangkan Indonesia Zero ODOL pada Januari 2023. Tapi, hal itu tak kunjung menjadi kenyataan.
“Padahal dampaknya tak main-main. Jalan dan jembatan rusak dengan biaya perbaikan dan pemeliharaan yang terus membengkak. Kementerian Pekerjaan Umum mengeluhkan biaya perbaikan jalan akibat beban berlebih yang sudah mencapai Rp 43 triliun lebih per tahun,” demikian dikutip dari siaran pers MTI.
Belum lagi kerugian akibat kecelakaan truk yang kerap memakan korban jiwa. Kecelakaan truk di Indonesia kini menempati posisi kedua setelah sepeda motor.
“Fatalitas kematian akibat kecelakaan truk sangatlah tinggi. Nyawa korban tidak ternilai harganya. Dan korban mati bukanlah sekadar angka statistik. Banyak di antaranya adalah kepala keluarga, dan kepergian mereka meninggalkan luka mendalam dan menciptakan kemiskinan bagi keluarga yang ditinggalkan,” sebut MTI.