Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia melaporkan adanya aktivitas impor truk untuk kebutuhan tambang. Impor truk itu dinilai makin meresahkan.
“Ada isu terkait kendaraan-kendaraan komersial yang ada di daerah di luar Jawa, bahkan di Jawa juga ada. Itu angkanya mengkhawatirkan,” kata Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara di Jakarta, belum lama ini.
Aktivitas distribusi truk yang diimpor utuh itu tidak terdata oleh Gaikindo, karena bukan anggota.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
“Sampai Juli ini diperkirakan, kami tidak punya data yang cukup resmi, itu hampir 7 ribu, sampai akhir tahun bisa sampai 14 ribuan kendaraan komersial,” ungkapnya lagi.
Truk impor ini bisa mengancam industri dalam negeri, apalagi buat pabrikan yang sudah berinvestasi besar.
“Ini yang mengganggu produksi kendaraan bermotor di Indonesia. Pelaku lokal ini memenuhi ketentuan yang ada di Indonesia, namun dikalahkan kendaraan-kendaraan impor yang dapat dengan mudah masuk Indonesia. Kalau lokal harus ikut SRUT, mereka (impor) nggak. Ini cukup mengganggu karena volume-nya cukup besar,” kata dia.
Truk impor tidak wajib SRUT?
Direktur Sarana dan Keselamatan Transportasi Jalan Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub Yusuf Nugroho menyebut, truk tersebut tidak mengikuti uji tipe karena hanya digunakan di area pertambangan.
“Terkait dengan kendaraan khususnya truk CBU yang kami sudah identifikasi bahwa truk-truk tersebut memang diperuntukkan untuk operasional perusahaan pertambangan. Operasionalnya itu bukan di jalan umum,” ujar Yusuf.
“Kendaraan-kendaraan tersebut memang tidak dilakukan pengujian tipe maupun pengujian berkala, kalau memang dioperasikan di luar jalan umum,” sebut Yusuf.
Kendaraan yang beroperasi di area terbatas seperti kawasan industri, pertambangan, atau perkebunan disebut tidak diwajibkan melalui uji tersebut.
“Kami ingin pastikan bahwa kendaraan tersebut juga mendukung agar bisa memenuhi persyaratan teknis dan layak jalan sesuai dengan desainnya dari kendaraannya yang memang bukan diperuntukkan untuk dioperasikan di jalan umum,” ujarnya.
Apalagi truk tersebut tidak dituntut untuk memenuhi syarat sertifikasi Euro4. Sementara pabrikan dalam negeri harus memenuhi aturan pemerintah itu.
“Kenapa mereka mengimpor? Karena pada waktu lokasi area (pertambangan), itu mereka punya kesulitan, pakai truk Indonesia, buatan Indonesia harus Euro4, bahan bakarnya tidak ada,” kata Kukuh.
Otomotif, khususnya segmen komersial, merupakan industri padat karya yang banyak melibatkan pekerja dan turut berkontribusi kepada perekonomian negara.
“Itu membuat total pasar tergerus lebih dari 38 persen. Dan dengan sangat terpaksa beberapa industri komponen atau part yang tidak bisa ekspor mengurangi karyawannya,” ucap Rachmat Basuki, Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Alat-alat Mobil dan Motor (GIAMM).
Dalam website data Badan Pusat Statistik Ekspor Impor tahun 2024, kode HS 87042369 merupakan pengelompokan untuk kendaraan bermotor selain pendingin, pengumpul sampah, tanker, lapis baja, hooklift, dumper; untuk pengangkutan barang, hanya dengan mesin diesel atau semi diesel; g.v.w. > 24 ton & ≤ 45 ton; bukan CKD.
Tertulis dalam nomenklatur Harmonized System (HS) 87042369 yang di dalamnya juga memuat impor truk dari China. Barang-barang itu dikirim ke proyek produksi nikel seperti Morowali, Weda, Pulau Obi.
Truk merek Jepang mungkin mendominasi di jalan-jalan Indonesia. Tetapi jika bicara di tambang nikel di Morowali (Sulawesi Tengah) dan Halmahera (Maluku Utara) yang paling populer adalah truk warna merah asal China merek Shacman.
Motor Sights International (MSI), distributor Shacman menjelaskan sudah menjual lebih dari 6.000 truk di Indonesia sejak 2016 yang 95 persen penjualannya digunakan di Morowali dan Halmahera.
Bahkan di situs global Shacman, disebutkan proyek nikel di Indonesia merupakan keberhasilan Shacman di Asia Pasifik.