Beli mobil bekas zaman sekarang kian digemari. Sebab, konsumen tak lagi beli ‘kucing dalam karung’.
Pasar mobil bekas di Indonesia masih sangat seksi. Bahkan dalam beberapa tahun belakangan disebut lebih diminati. Penjualannya pun juga meningkat. Bila dibandingkan dengan penjualan mobil baru, justru lebih besar. Salah satu penyebabnya adalah harga mobil baru yang terus meningkat, namun tak sejalan dengan kenaikan pendapatan.
“Used car 4, 5, 6 tahun belakangan itu menjadi sebuah bisnis yang lebih transparan. Nggak beli kucing dalam karung, kelihatan. Jadi ada jaminan warranty dan lain sebagainya, dan difasilitasi,” urai Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara dalam diskusi Forwin belum lama ini.
Ini membuat pasar mobil bekas terus melonjak melebihi mobil baru. Bahkan jumlah penjualannya nyaris 2 juta. Sebaliknya, penjualan mobil baru kian lesu. Menurutnya, dibutuhkan ‘suntikan’ untuk membuat penjualan mobil baru bergairah lagi. Tujuannya agar industri otomotif dalam negeri bisa terus berkembang. Sementara pasar mobil bekas juga terus hidup.
“Nah kalau kita 1 juta yang mobil baru, 2 juta mobil bekas, ini kan sayang, Pak, karena industrinya nggak akan terdampak. Jadi marketnya sebenarnya 3 juta, luar biasa, sudah sama dengan Meksiko,” tambah Kukuh.
Adapun bila mengambil kebijakan, kata Kukuh, harus bersifat jangka panjang. Soalnya, kalau bersifat sementara masyarakat juga enggan membeli saat kebijakan tersebut berakhir. Alhasil, penjualan mobil pun kembali melemah.
Tahun ini penjualan mobil di Indonesia pun diprediksi belum bisa kembali ke posisi 1 juta unit. Proyeksi Gaikindo, penjualan mobil tahun ini hanya menyentuh 850.000 unit. Angka ini turun bila dibandingkan capaian pada tahun 2024 yang mencapai 865.723 unit.
Sebelumnya di kesempatan terpisah, Ketua Umum Gaikindo, Yohannes Nangoi mengungkap biang kerok penurunan penjualan mobil di dalam negeri pada April 2025. Penurunannya pun cukup tajam. Secara wholesales penurunan mencapai 27,8 persen sementara secara retail turun 25,5 persen.
Kondisi tersebut diakibatkan perlambatan ekonomi yang akhirnya mempengaruhi daya beli konsumen. Namun ini tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan secara global.
“Kalau dilihat juga ini masyarakat menengah atas Indonesia juga banyak yang turun kelas dan segala macam. Jadi itu yang bikin penjualan terganggu,” ungkap Nangoi.