Gabungan Industri Alat-alat Mobil dan Motor (GIAMM) mengusulkan agar besaran insentif mobil ditentukan dari seberapa besar tingkat kandungan dalam negeri atau TKDN-nya. Sebab, dengan demikian, produsen akan ramai-ramai menggunakan komponen lokal.
Usulan tersebut disampaikan langsung Rachmat Basuki selaku Sekretaris Jenderal atau Sekjend GIAMM. Menurutnya, dengan kebijakan tersebut, maka tak ada lagi produsen yang hanya mengejar batas minimal aturan TKDN.
“Jadi, kalau maunya GIIAM, semakin tinggi TKDN mobilnya, semakin (besar) dikasih insentifnya. Tapi TKDN-nya yang benar, jangan sampai TKDN assembling aja 30 persen, kurang lah lokalisasinya,” ujar Rachmat Basuki di Wisma Bisnis Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (25/9).
Menurut Basuki, kebijakan tersebut lebih tepat. Sebab, dengan demikian, produsen terdorong memperluas penggunaan komponen lokal, sehingga meningkatkan kapasitas produksi serta menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja di dalam negeri.
Lebih jauh, Basuki menambahkan, realisasi lokalisasi komponen kendaraan di Indonesia masih menemui banyak tantangan. Lebih lagi, sejak dua tahun terakhir, mobil listrik impor mendapat ‘karpet merah’ dari pemerintah, sehingga tak ada penyerapan komponen lokal.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Selain itu, menurut Basuki, syarat TKDN 40 persen juga dianggap terlalu kecil untuk suatu kendaraan bermotor. Sebab, dari batas minimal tersebut, 30 persennya dihitung dari aktivitas assembling atau perakitan.
“Aturannya itu terlalu mudah dan terlalu ringan untuk yang BEV, sedangkan kita misalkan (TKDN) Avanza (ICE) 80 persen, dia itu komponennya harus disuplai dari lokal, jadi akan tumbuh banyak pabrik, pabrik kodi, pabrik steering, dan lainnya,” tuturnya.
“Kalau BEV peraturannya ini misalkan hanya dirakit di Indonesia, (sudah dapat) 30 persen TKDN, kalau begitu impor saja semua (komponennya) kan assembling sudah dapat 30 persen,” kata dia menambahkan.