Pemerintah kini mulai gencar mengkampanyekan zero truk over dimension over load (ODOL). Truk ODOL dinilai menimbulkan banyak kerugian, mulai dari jalan rusak hingga menjadi penyebab kecelakaan maut.
Jauh sebelum truk bermuatan lebih menelan korban jiwa, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) sudah lama menyuarakan peringatan. Pemerintah juga sempat mencanangkan Indonesia Zero ODOL pada Januari 2023. Tapi, hal itu tak kunjung menjadi kenyataan.
“Padahal dampaknya tak main-main. Jalan dan jembatan rusak dengan biaya perbaikan dan pemeliharaan yang terus membengkak. Kementerian Pekerjaan Umum mengeluhkan biaya perbaikan jalan akibat beban berlebih yang sudah mencapai Rp 43 triliun lebih per tahun,” demikian dikutip dari siaran pers MTI, Kamis (5/6/2025).
Belum lagi kerugian akibat kecelakaan truk yang kerap memakan korban jiwa. Kecelakaan truk di Indonesia kini menempati posisi kedua setelah sepeda motor.
“Fatalitas kematian akibat kecelakaan truk sangatlah tinggi. Nyawa korban tidak ternilai harganya. Dan korban mati bukanlah sekadar angka statistik. Banyak di antaranya adalah kepala keluarga, dan kepergian mereka meninggalkan luka mendalam dan menciptakan kemiskinan bagi keluarga yang ditinggalkan,” sebut MTI.
Dari sisi ekonomi, truk kelebihan dimensi dan muatan juga tidak memenuhi standar kawasan perdagangan bebas ASEAN. Truk ODOl pun membuat lemah daya saing nasional.
“Menjadi suatu ironi, di satu sisi sejumlah pengusaha selalu memprotes penertiban truk kelebihan dimensi dan muatan, tetapi masalah yang penertibannya diprotes itu malah menyebabkan daya saing ekonomi kita terus kalah dibanding negara tetangga,” katanya.
Menurut MTI, problem truk kelebihan dimensi dan muatan bukan semata urusan pelanggaran teknis atau siasat mencari profit. Masalah ini adalah cermin kekacauan tata kelola logistik nasional.
“Karoseri masih bebas memproduksi truk berdimensi tak wajar. Pemilik barang dengan enteng memaksa sopir memuat lebih demi efisiensi biaya tanpa peduli akan aturan hukum. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, belum juga membuat regulasi yang memaksa produsen dan pemilik barang bertanggung jawab,” ucapnya.
“Pasal 184 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 memberi keleluasaan pada cara penetapan tarif angkutan barang melalui kesepakatan antara pengguna dan operator. Akan tetapi dalam praktiknya, liberalisasi tarif justru membiakkan eksploitasi. Regulasi keselamatan dan batas teknis kendaraan tak ditegakkan. Truk kelebihan dimensi dan muatan menjamur. Prasarana jalan dan pelabuhan rusak. Negara merugi,” kata MTI.